Dalam sistem hukum dan administrasi pertanahan di Indonesia, ada satu prinsip yang sederhana namun mendasar: satu tanah, satu wajib pajak. Prinsip ini menjadi penopang tertib administrasi negara sekaligus cermin keadilan fiskal antara warga dan pemerintah. Setiap bidang tanah memiliki identitas unik, yang dikenal sebagai Nomor Objek Pajak (NOP), yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Melalui SPPT, negara menetapkan siapa yang secara sah berkewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah tersebut.
Ketika seseorang tercatat dalam SPPT dan rutin membayar pajak tahun demi tahun, maka hubungan hukumnya dengan tanah itu diakui secara administratif oleh negara. Ia bukan hanya membayar sejumlah uang, tetapi menegaskan kedudukannya sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab hukum dan sosial atas tanah tersebut. Sebaliknya, jika ada pihak lain yang mengklaim memiliki hak atas lahan yang sama namun tidak tercatat sebagai wajib pajak dan tidak pernah membayar PBB, maka klaim tersebut kehilangan dasar hukumnya. Dalam hukum administrasi, hak tanpa kewajiban adalah sesuatu yang kosong — tidak memiliki kekuatan yang dapat dipertahankan di hadapan negara.
Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Indonesia, yang kini diatur di antaranya dalam Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa subjek pajak adalah orang atau badan yang mempunyai hak atas bumi atau memperoleh manfaat darinya. Artinya, kepemilikan dan manfaat ekonomi atas tanah tidak dapat dipisahkan dari kewajiban membayar pajak. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Atas Tanah menyatakan dengan jelas bahwa pemegang hak atas tanah wajib membayar uang pemasukan dan pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika kewajiban itu diabaikan, hak atas tanah dapat ditinjau ulang bahkan dicabut sebelum jangka waktunya berakhir.
Pajak tanah bukan hanya alat pungutan negara, melainkan juga tolok ukur kepatuhan dan bukti keterikatan warga terhadap tanah yang mereka miliki atau kuasai. Pembayaran pajak yang teratur menunjukkan kesetiaan warga terhadap sistem dan hukum negara. Sebaliknya, pengabaian terhadap kewajiban pajak menggambarkan putusnya hubungan hukum antara seseorang dan tanah yang dimaksud.
Negara tidak boleh membiarkan satu objek pajak memiliki dua wajib pajak yang berbeda, karena itu menciptakan kekacauan administrasi dan ketidakpastian hukum. Prinsip “satu tanah, satu wajib pajak” memastikan agar setiap hak diimbangi oleh kewajiban, setiap pengakuan diiringi oleh tanggung jawab. Dengan sistem yang tertib, negara dapat menjaga keadilan fiskal dan melindungi hak rakyat yang taat pada kewajiban.
Pada akhirnya, besarnya sebuah negara tidak hanya diukur dari luas wilayah atau kekuatan militernya, tetapi dari seberapa banyak warga negara yang sadar membayar pajak. Pajak adalah nafas pembangunan dan bukti cinta kepada tanah air. Sebab setiap rupiah yang dibayarkan bukan sekadar angka di kas negara, melainkan tanda bakti seorang warga kepada negeri yang memberinya ruang untuk hidup.





